Rabu, 16 Juni 2010

Senja itu

Gegap gempita suara penonton. riuh rendah tepuk tangan yang menyertainya. pun saat pondium kukuasai dengan sempurna. saat itu jarum jam mencapai titik 09.00 dalam lari maratonnya. aku masih menunggu, ragu! mataku berulang kali melayang pada gerbang di depan sana. menunggu sosok itu datang. menunggu Besok gak bisa dateng kayaknya. jam siangan dikit berangkat ke luar kota itu yang kau sampaikan semalam sebelumnya. sebelum jam itu kan bisa? batinku berharap.

Maka jadilah aku tetap menunggu. saat dengan sempurna aku berdiri tegak di samping beliau, tokoh nasional yang menjadi impianku seribu tahun mungkin. sebuah senyum haru ku lempar, dengan penuh seluruh.

namun tak henti mata ini menyusuri tiap wajah yang ada di bawah sana, sesekali memandang kejauhan, berharap ada sosok jangkung dengan mata sipit yang akan muncul di sana. menunggu menunggu menunggu...

sebuah sambutan yang dengan ikhlas kupersembahkan buat dia dengan segala inspirasinya, seakan percuma. aku tetap menanti menunggu. di bilangan menit yang ke tiga puluh dari angka sembilan aku masih menunggu. tapi dia tak datang.

Senyum masih mampu kurebak dengan sempurna, jutaan selamat dan luapan rasa bangga dari banyak pihak terus mengiringi hingga aku duduk total di kursi rotan. namun aku tak mampu mengajar leher ini kompromi, karena berkali-kali itu pula tetap melongok ke pintu gerbang. memandangi tiap sekon keajaiban yang akan di tebar Tuhan di sana. tapi tidak ada!

sebelumnya sudah mengundang di jauh hari bahkan sebulan sebelum acara. berharap dengan penuh agar bisa hadir di sana. memberi senyum tulus satu kali itu saja. itu pinta sederhanaku.

sebgagai luapan terima kasihku yang telah banyak membatuku selama ini. sebagai ungkapan rasa syukurku dengan kuasa Tuhan yang mempertemukanku denganmu. sebagai bentuk rasa hormat tak bertepiku pada kamu yang dalam bentuk seperti apapun atau bagaimanapun kata orang tetap menjadi yang paling membanggakan buatku. hari itu saja aku mohon...

hari sudah sedemikian sore. pondium telah dibereskan, kursipun telah terlipat rapi siap untuk di bawa. sampah yang tersisa telah diangkut. aku masih berdiri di gerbang, memandang jauh ke depan, menanti dengan sabar dengan tetap berbaik sangka. keringat bercampur debu menetes satu persatu. membasahi dengan genap seluruh dahi hidung telinga dan pipi. bahkan tungkaipun telah gemetar menompang badan. namun tetap bertahan dan tak bergeming. melihat berkali-kali pada layar ponsel, sejurus detik setelahnya menghunjamkan pandangan ke depan. berharap akan muncul sesosok di kejauhan sana.

"Dia gak bakal datang Bening" sebuah tepukan halus merangkulku dari belakang
"Siapa?" aku mengelak
"Jangan bohong" kawanku tersenyum bijak. aku menunduk, menggenggam erat dua buku yang sudah kubingkis rapi semalam sebelumnya

Melangkah gontai, memaksa leher agar tak lagi menoleh ke arah jalan berharap dia benar-benar nyata. ada ribuan rasa kecewa, sedih, sebel, marah, benci, mangkel, memaklumi, harap, cemas, khawatir campur aduk di sna. tapi ternyata percuma. ingin sekali mengungkapkan dengan bahasa verbal, hingga tak mengendap ke dasar hati. ingin sekali meluapkan segalanya. namun yang ku bisa hanya melempar dua bingkis buku yang telah basah oleh keringat ke atas lemari. setelah itu berbalik pergi, menghampiri senja yang kian sempurna saja. dengan mata tak lepas memandang kejauhan, pada satu titik entah itu apa...

Senin, 14 Juni 2010

Buntu!

sejenak berlari dan berhenti.... kemudian berlari lagi....

BUNTU!

Kamis, 10 Juni 2010

TULUS

Meletakkan harga diri di tapal terendah, guna meraba masih adakah sepercik sayangmu di sana, semakin membuatku sulit membedakan antara abu-abu dan hitam putih, yang tertera justru hal membingungkan, atau mungkin sebenarnya tak pernah ada yang tertera di sana.

menyanyangi dengan tulus tana pamrih sedikitpun ataupun tanpa mengharap balasan apapun ternyata sangat sulit, bahkan kerap terbentur berbagai macam hal yang untuk dibayangkan saja tak mau aku lakukan.

aku menempatkanmu di ruang terkhusus dalam bingkai hati ini, tanpa tahu apakah kau juga menempatkanku di ruang yang sama, atau mungkin hanya di salah satu sudut kosong yang sedikit tersisa. aku tak tahu!. hidup dalam segala kemungkinan membuatku selalu meraba-raba. membuatku lelah, teramat lelah.

sekaranglah saatnya muhasabah diri, tetap tulus menyanyangi karena Allah, tanpasedikit pamrih sekalipun, tanpa syarat yang selalu dibentangkan kuasa, tanpa apa-apa dan mengharap apa-apa.

kelak jika Aa sempatkan membaca tulisan ini, maka bacalah bagian ini berulang-ulang. bahwa aku masih tetap menyayangimu tanpa syarat, tanpa pamrih. tulus... sekuat tenaga akan berusaha membuatmu nyaman tak terusik. maaf jika selama ini terlalu banyak merepotkanmu, maaf juga untuk semua salahku maaf...